Mengenal Ekosufisme, Sebuah Pendekatan Baru Dalam Pemulihan Lingkungan

Jakarta-PPI Unas.  Kehidupan manusia modern saat ini tengah dihadapkan pada tantangan berupa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Ada berbagai upaya untuk mengatasinya, mulai dari penegakkan hukum dan regulasi, edukasi dan pendekatan ilmiah, kampanye dan perubahan perilaku, dan tengah banyak dipelajari di dunia barat adalah adalah pendekatan agama dan nilai-nilai tradisi. Salah satu pendekatan tersebut adalah ekosufisme.

Bertepatan dengan peringatan Dies Natalis Universitas Nasional ke-72 yang jatuh pada tanggal 15 Oktober 2021, Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional (PPI-Unas) mengadakan Kajian Jum’at #06 yang mengangkat tema mengenai Ekosufisme: Tasawuf dan Lingkungan Hidup dengan menghadirkan Dr. Suwito NS sebagai narasumber dan Dr. Hendra M. Saragih sebagai moderator.

Sebagai pengantar kajian, Ketua PPI Unas Dr Fachruddin Mangunjaya menyampaikan, pendekatan spiritual seperti tasawuf kini banyak diperbincangkan di kalangan ilmuwan karena terbukti pendekatan ilmiah dan logika serta penegakkan hukum ternyata belum cukup efektif dalam mengatasi berbagai persoalan persoalan lingkungan yang kini semakin komplek dan membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari berbagai disiplin ilmu.

Ekosufisme pertama kali dikembangkan Suwito pada tahun 2009-2011 ketika melakukan disertasi penelitian pada aktivitas yang dilakukan oleh  jamaah di Masjid Aulia dan Pesantren Ilmu Giri di Gunung Kidul, Yogyakarta.

Berbeda dari kebanyakan tarekat tasawuf lainnya yang menjauhi kehidupan di dunia untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah, komunitas di pesantren dan masjid tersebut justru melakukan upaya-upaya pelestarian dan pemulihan lingkungan sebagai bentuk kecintaan dan kedekatannya kepada Sang Pencipta.

“Banyak persoalan lingkungan terjadi, karena ketidakmampuan manusia dalam memahami ilmu alam yang merupakan bagian dari Ilmu keTuhanan, seperti sifat air yang mengalir, tumbuh-tumbuhan yang berkembang untuk menghasilkan oksigen atau bahan makanan bagi kehidupan makluk hidup yang lain,” jelas Suwito.

Ketidaktahuan ini, kemudian mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang menyalahi hukum alam yang pada akhirnya menimbulkan dampak berupa bencana terhadap kehidupan manusia itu sendiri.

Dia mencotohkan bencana banjir terjadi karena masyarakat melawan hukum alam dengan membuang sampah ke aliran sungai atau memotong aliran sungai sehingga air tidak dapat mengalir, atau membabat hutan yang berfungsi untuk menjaga dan menahan air yang meresap ke tanah.

Lebih lanjut dosen IAIN menjelaskan, ekosufisme sendiri merupakan perpaduan antara disiplin ilmu Ekologi dan Sufisme. Ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel, seorang ilmuwan Jerman di tahun 1866 sebagai ilmu yang menyeluruh mengenai hubungan antara organisme dan lingkungannya. Ekologi berasal dari kata Oikos dalam bahasa Yunani yang berarti rumah atau tempat tinggal. Kata ini kemudian mengalami perluasan makna menjadi kata environment (Inggris), l’evironment (Perancis), umwelt (Jerman), milliu (Belanda), alam sekitar (Melayu), sivat-lom (Thailand), serta al-bi’ah (Arab).

Sedangkan tasawuf atau sufisme merupakan bahasa Arab yang berasal dari kata Shafa yang berarti bening dan jernih, atau al-shuff yang berarti bulu domba/wol yanmg kasar atau al-shaff yang berarti barisan. Tasawuf adalah teknik untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pembersihan atau penjernihan jiwa melalui pola hidup yang sederhana dan bersungguh-sungguh (mujahadah).

Dengan demikian konsep ekosufisme adalah sebuah dimensi spiritual dalam Islam yang menitikberatkan pola hubungan yang etis dan estetis antara manusia dengan Tuhannya, dan antara manusia dengan ekosistem lainnya.

“Ekosufisme dibangun melalui proses penyatuan antara kesadaran berlingkungan dan berketuhanan, dimana mencintai alam semesta menjadi bagian dari mencintai Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta dan mencintai sesuatu yang menjadi milik Tuhan adalah cara untuk mencintai Tuhan. Ujar Suwito.

Jadi ini merupakan, sebuah proses tranformasi terhadap pelaku sufi ketika dia menyadari bahwa alam merupakan ayat atau tanda-tanda tentang keberadaan Allah yang diciptakan sebagai media untuk mendekatkan diri kepadaNya, sekaligus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan pemanis dalam kehidupan manusia.

Menguras, Mengisi, Memancar

Suwito juga menjelaskan untuk menjalankan praktek ekosufisme ada tiga tahapan yang perlu dilakukan. Yang pertama dalah menguras atau Takhalli, yaitu proses membuang dan menghilangkan sifat-sifat buruk pada diri sendiri terkait dengan lingkungan melalui taubat ekologis, misalnya, tidak membuang sampah di sembarang tempat, mengurangi penggunaan bungkus plastik untuk makanan, penebangan pohon  dll. Yang kedua adalah mengisi atau Tahali sebagai proses untuk mengkondisikan, memasukan atau menginstall sifat-sifat baik pada diri dengan melakukan syukur ekologis yang dilakukan dengan pemanfaatan sumber daya alam secara hemat, efisien dan sesuai dengan kebutuhah, tidak berfoya-foya atau mubazir. Dan yang terakhir adalah memuncar atau Tajalli yaitu melaksanakan dan menerapkan perilaku yang ramah terhadap alam, seperti penanaman pohon, pembuatan tandon air, mahar pernikahan dengan menanam pohon atau pengembangkan teknologi dalam pemulihan kerusakan lingkungan.

Melalui tahapan-tahapan ini, kata Suwito, seorang sufi akan semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta, sekaligus memulihkan kembali lingkungan di sekitarnya sebagai bentuk kecintaan dalam menjaga hasil karya Tuhannya.

Bagikan Artikel

Recent Posts

NEWS & EVENTS

Membumikan Perjanjian Al-Mizan

Para ulama, cendekiawan, dan aktivis lingkungan muslim baru saja melahirkan Perjanjian Al-Mizan. Upaya menjaga masa depan bumi dan peradaban. Koran Tempo, Senin, 18 Maret 2024

Read More »