NGAJIONLINEPPI-02: COVID-19, BISNIS SATWA LIAR, DAN PERSPEKTIF EKOLOGI ISLAM

Jakarta, PPI-UNAS. Memasuki Jum’at kedua di Bulan Ramadhan 1441 H, Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional (PPI-UNAS) mengadakan NgajiOnlinePPI yang ke-2 dengan mengangkat tema tentang COVID-19, Bisnis Satwa Langka, dan Perspektif Islam tentang Ekologi.

Pengajian menghadirkan dua narasumber yaitu Dr. KH Husein Muhammad dari Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon dan Dr. Fachruddin Mangunjaya, Dosen Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Nasional, Jakarta.

Mengawali pengajian Kyai Husein menjelaskan, pandemi Covid-19 merupakan peristiwa luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting terkait perilaku manusia, dan peranannya sebagai  wakil Allah yang bertanggung jawab atas mengelola kehidupan di muka bumi.

Pandemi Covid-19 ini, menurut Husein, mungkin hampir serupa dengan kejadian penyakit Tha’un (kolera) yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khatab dan menyebar di wilayah Suriah, Syam, Lebanon, dan Palestina. Namun tidak banyak literasi yang menjelaskan apa yang menjadi penyebab wabah tersebut bagaimana wabah itu diatasi pada akhirnya.

“Hanya ada penjelasan, ketika terjadi wabah di suatu tempat, maka kita dilarang untuk memasuki wilayah tersebut, dan jika sudah berada di dalamnya maka sebaiknya jangan keluar. Ini mirip dengan kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintah saat ini agar penyakit tersebut tidak semakin luas penyebarannya.”

Namun, agar pandemi semacam tidak terulang lagi di kemudian hari, menurut Husein, manusia harus menggunakan akal pikirannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari musibah yang dialami.

“Tidak bisa, sekedar mengatakan bahwa ini adalah kehendak Allah,” tegasnya.

Sebab Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dia tidak akan melimpahkan keburukan pada semua makhluknya. Jika ada suatu keburukan atau musibah, maka sesungguhnya itu adalah  akibat dari perbuatan manusia sendiri. Manusia sering kali berbuat kerusakan dan kedzaliman yang pada akhirnya berdampak bagi dirinya sendiri, orang lain, ataupun lingkungannya secara luas.

“Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan Hadist sebagai petunjuk dasar bagi manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia di muka bumi, tugas manusia lah yang kemudian harus menggali pengetahuan dan cara hidup agar semuanya bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip kesalingan yang telah Allah tetapkan,  dimana semua yang ada di bumi akan saling mempengaruhi, saling bergantung, dan saling menjaga keseimbangan,” jelas Husein.

Wabah Covid-19 pertama kali berjangkit di kota Wuhan di Tiongkok. Para ilmuwan menduga penyakit ini disebabkan oleh virus Corona yang berasal dari satwa liar seperti kelelawar dan trenggiling yang banyak dijual di pasar hewan di kota itu. Hingga akhir April 2020, Covid-19 telah menyebar ke 21o negara dan menginfeksi lebih dari 2,5 juta penduduk di dunia.

Meski para ilmuwan belum menemukan jawaban yang pasti bagaimana virus ini sampai berpindah dari tubuh satwa liar ke manusia, namun penelitian menunjukkan bahwa DNA virus Corona yang menjadi menyebabkan penyakit Covid-19 memiliki kemiripan hingga 96% dengan DNA virus Corona yang terdapat pada kelelawar ataupun trenggiling.

Menurut Dr. Fachruddin Mangunjaya, wabah penyakit seperti Covid-19 cepat menyebar ke seluruh dunia karena dipengaruhi gaya hidup manusia modern saat ini. Sistem transportasi yang semakin cepat dan terintegrasi menyebabkan interaksi antar manusia di seluruh dunia menjadi semakin tinggi dan mudah.

Selain itu, perilaku manusia dalam lima puluh tahun terakhir juga semakin agresif untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Selain perambahan hutan, kegiatan perdagangan satwa liar juga semakin meningkat tajam baik untuk untuk kebutuhan konsumsi makanan, obat-obatan dan juga kesenangan seperti hewan peliharaan.

“Situasi ini telah menimbulkan ketidakseimbangan pada lingkungan dan alam. Satwa-satwa liar yang seharusnya berada di habitat aslinya di dalam hutan, kini makin mendekat pada populasi manusia seperti yang terjadi di pasar-pasar hewan di Wuhan. Tidak heran jika penelitian dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)  menunjukkan ada lebih 60% penyakit yang dialami manusia modern saat ini disebabkan oleh virus atau mikroorganisme yang berasal dari tubuh satwa, atau dikenal dengan penyakit zoonosis.” jelas Fachruddin.

Dalam tradisi Islam, para ahli fiqih sebetulnya telah melakukan kajian dan menetapkan aturan serta prinsip-prinsip dalam pengelolaan pengelolaan alam dan lingkungan, termasuk bagaimana perilaku manusia dalam memperlakukan satwa liar. Dalam bab makanan misalnya, empat imam telah menetapkan aturan mana saja satwa yang halal untuk di makan, dan mana yang haram.

“Aturan ini telah banyak diterapkan di kalangan komunitas Melayu di Kalimantan. Sehingga terlihat perbedaan dimana wilayah yang dihuni oleh masyarakat melayu lebih terjaga kelestarian alamnya dibandingkan dengan wilayah yang didiami oleh non-Melayu.” jelas Fachruddin lagi.

Pada tahun 2014  Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan Fatwa No.4 tahun 2014 tentang perlindungan satwa liar yang dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Namun sayangnya, bukan sebuah aturan hukum yang mengikat, dan baru sebatas himbauan para ulama. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya sosialisasi dan advokasi untuk mendorong kesadaran publik dan pemerintah dalam menerapkan hukum yang lebih kuat.

“Kajian-kajian mengenai prinsip-prinsip Islam terkait lingkungan dan keseimbangan alam juga belum banyak dibahas oleh para ulama, apalagi kajian ilmiah yang dilakukan para ilmuwan.” ujar Fachruddin.

Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi yang lebih luas dari berbagai semua pihak, untuk mempelajari dan mengembangkan prinsip-prinsip ajaran Islam terkait pengelolaan alam, sehingga diperoleh pelajaran dan  manfaat yang lebih luas bagi manusia dan makluk hidup lainnya.

 

Bagikan Artikel

Recent Posts

NEWS & EVENTS

Membumikan Perjanjian Al-Mizan

Para ulama, cendekiawan, dan aktivis lingkungan muslim baru saja melahirkan Perjanjian Al-Mizan. Upaya menjaga masa depan bumi dan peradaban. Koran Tempo, Senin, 18 Maret 2024

Read More »