Press Release
Embargo, Monday 27 August, 2018
10:00 London time (BST) / 5:00am US Eastern time.
18:00 Japanese time / 21:00 Australian Eastern Time
Siaran Pers No.016/MPR/SP/VIII/2018
Untuk Diberitakan Segera
JAKARTA– Alat ukur letak geografis dapat digunakan untuk memahami sebuah kejahatan yang berulang, dan membantu mengurangi korban konflik manusia harimau. Kemarin para ilmuwan mempublikasi hasil penelitian mereka, yang membantu menjelaskan bagaimana penduduk desa di Sumatera hidup berdampingan dengan harimau.
Alat ukur ini jika digunakan diharapakan mampu menanggulangi perburuan harimau hingga setengahnya, terutama guna menyelamatkan harimau dari perburuan dan pembunuhan balas dendam.
Penelitian ini menggabungkan pendekatan multidisiplin,antara ekologi spasial dan ilmuwan social dalam membantu memprediksi di mana intervensi konflik manusia-harimau bias menjadi yang paling efektif. Meskipun risiko menghadapi harimau umumnya lebih besar di sekitar desa-desa berpenduduk dekat hutan atau sungai, profil geografis mengungkapkan tiga wilayah di mana risiko sangat tinggi.
‘Memahami toleransi manusia adalah kunci untuk mengelola spesies berbahaya dan sangat penting bagi harimau.
Ketika dikombinasikan dengan peta risiko pertemuan kami, informasi tentang toleransi orang terhadap satwa liar membantu kami mengarahkan sumber daya konservasi ketempat yang paling dibutuhkan. Ini bias berarti penghematan biaya yang signifikan dalam hal hewan hilang atau dana yang dibelanjakan, jadi bias sangat berguna dalam konservasi,”ujar Dr Struebig yang mejadi penulis pertama pada jurnal terkemuka dunia tersebut.
Penelitian ini juga menarik, karena mengungkap tentang toleransi manusia terhadap harimau terkait dengan sikap, emosi, norma, dan kepercayaan spiritual mereka.
“Riset ini menunjukkan pentingnya kolaborasi disiplin ilmu,karena menggabungkan berbagai pasangan data yang mencakup data social dan ekologi yang menjadi pendekatan bermanfaat untuk mengurangi konflik manusia dan satwa. Pendekatan multi disiplin seperti ini, penting untuk mencegah kepunahan pada satwa yang dilindungi.” tambah Dr Fachruddin Mangunjaya, dari Universitas Nasional, salah seorang co-Author dalam publikasi tersebut.
Penelitian yang dipublikasikan di Jurnal ilmiah bergengsi, Nature hari ini 27 Agustus 2018, berjudul: “Addressing human-tiger conflict using socio-ecological information on tolerance and risk”
Jurnal ini ditulis atas kolaborasi dari 12 orang ilmuwan dan ahli dari Inggris dan Indonesia, antara lain: Matthew Struebig, Nicolas Deere, and Jeanne McKay, dari University of Kent; Matthew Linkie, Wildlife Conservation Society Indonesia; Betty Millyanawati, Fauna & Flora International Indonesia; Fachruddin Mangunjaya, Universitas Nasional (UNAS); Sally Faulkner and Steven Le Comber, Queen Mary University of London; Nigel Leader-Williams, University of Cambridge; and Freya St. John, University of Kent and Bangor University.
Penelitian mengatasi konflik manusia-harimau menggunakan informasi sosio-ekologis tentang toleransi dan risiko yang mengancam harimau membuktikan pentingnya penelitian interdisipliner pada konflik dalam aktifitas konservasi. Penelitian ini menghasilkan tiga buah publikasi yang dipublikasikan di Jurnal Internasional dengan sudut pandang berbeda-beda.
Penelitian ini mencacah 2.386 responden di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi dan menggabungkan analisis spasial risiko perjumpaan dengan harimau dengan informasi tentang toleransi untuk mengungkapkan penyebab konflik manusia-harimau. Disamping itu penelitian ini menggunakan 13 tahun catatan perjumpaan manusia-harimau, dan profil geografis – teknik yang biasanya digunakan di seluruh dunia untuk menangkap kejahatan yang berulang terhadap satwa.
Harimau berada di ambang kepunahan karena deforestasi dan dianiaya manusia. Spesies ini sangat terancam, namun mereka juga menimbulkan ancaman terhadap public. Namun, di Sumatra harimau terus hidup berdampingan dengan manusia,hal ini sangat berbeda dengan di tempat lain. Jutaan dan konservasi dihabiskan setiap tahun untuk mengurangi risiko konflik menghadapi harimau, dan mengurangi kerugian ternak dari petani setempat.
- Foto-foto Bisa diunduh di sini (Downloads Pictures)
– Selesai-
For further information or interview requests contact Sandy Fleming at the University of Kent Press Office.
Tel: 01227 823581
Email: S.Fleming@kent.ac.uk
News releases can also be found at http://www.kent.ac.uk/news
University of Kent on Twitter: http://twitter.com/UniKent
Established in 1965, the University of Kent – the UK’s European university – now has almost 20,000 students across campuses or study centres at Canterbury, Medway, Tonbridge, Brussels, Paris, Athens and Rome.
It has been ranked 22nd in the Guardian University Guide 2018 and in June 2017 was awarded a gold rating, the highest, in the UK Government’s Teaching Excellence Framework (TEF).
In the Times Higher Education (THE) World University Rankings 2015-16, it is in the top 10% of the world’s leading universities for international outlook and 66th in its table of the most international universities in the world. The THEalso ranked the University as 20th in its ‘Table of Tables’ 2016.
Kent is ranked 17th in the UK for research intensity (REF 2014). It has world-leading research in all subjects and 97% of its research is deemed by the REF to be of international quality.
In the National Student Survey 2016, Kent achieved the fourth highest score for overall student satisfaction, out of all publicly funded, multi-faculty universities.
Along with the universities of East Anglia and Essex, Kent is a member of the Eastern Arc Research Consortium (www.kent.ac.uk/about/partnerships/eastern-arc.html).
The University is worth £0.7 billion to the economy of the south east and supports more than 7,800 jobs in the region. Student off-campus spend contributes £293.3m and 2,532 full-time-equivalent jobs to those totals.
Kent has received two Queen’s Anniversary prizes for Higher and Further Education.
About Fauna &Flora International (FFI) (www.fauna-flora.org)
FFI protects threatened species and ecosystems worldwide, choosing solutions that are sustainable, based on sound science and that take account of human needs. Operating in more than 40 countries worldwide, FFI saves species from extinction and habitats from destruction, while improving the livelihoods of local people. Founded in 1903, FFI is the world’s longest established international wildlife conservation organisation and a registered charity.
About UniversitasNasional:
Adalah salah satu universitas swasta di Kalangan Ristekdikti yang mendapatkan Ristekdikti Award 2018 untuk kerjasama penelitian internasional.
Kontak Unversitas Nasional: Fachruddin Mangunjaya, e-mail: fmangunjaya2@gmail.com