Jakarta, 19 Desember 2025 – Pusat Pengajian Islam (PPI) Universitas Nasional (UNAS) menyelenggarakan kegiatan Kuliah Umum bertajuk “Islamic Bioethics & 21st Century Challenges” yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting pada Jumat (19/12) pukul 14.00 WIB. Kegiatan ini menghadirkan Prof. Emeritus Datuk Dr. Azizan Baharuddin, Emeritus Professor Department of Science & Technology Studies, Faculty of Science, University of Malaya (UM) sebagai narasumber utama.
Kuliah umum ini bertujuan untuk memperluas wawasan akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum mengenai konsep bioetika Islam serta relevansinya dalam menjawab berbagai tantangan bioteknologi dan ilmu kehidupan di abad ke-21. Kegiatan berlangsung secara interaktif dan dimoderatori oleh Dr. Fachruddin M. Mangunjaya, selaku Dekan Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional.
Dalam pemaparannya, Prof. Azizan menjelaskan bahwa bioetika Islam merupakan kajian etika dalam bidang medis dan ilmu kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai moral Islam, Al-Qur’an, Sunnah, serta tradisi hukum dan etika Islam (fiqh). Ia menegaskan bahwa, “The true test of bio-innovation is not merely discovery, but ensuring that its benefits are shared fairly and responsibly.” Bioetika Islam menekankan perlindungan terhadap martabat manusia, penjagaan kehidupan, serta keadilan dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fondasi utama bioetika Islam mencakup prinsip kesucian hidup (hifz al-nafs), larangan melakukan mudarat (la darar wa la dirar), prinsip kedaruratan, kemaslahatan umum, serta tanggung jawab manusia di hadapan Allah SWT.
Lebih lanjut lagi, Prof. Azizan menguraikan penerapan prinsip-prinsip bioetika Islam dalam berbagai isu kontemporer, mulai dari awal kehidupan seperti teknologi reproduksi berbantu (IVF) yang diperbolehkan dalam ikatan pernikahan, hingga isu akhir kehidupan seperti keputusan penghentian terapi medis yang sudah tidak bermanfaat (futile treatment). Selain itu, dibahas pula isu donasi dan transplantasi organ, genetika dan bioteknologi, kesehatan masyarakat, vaksinasi, serta kebijakan karantina sebagai bentuk perlindungan jiwa dan kemaslahatan bersama.
Kuliah umum ini juga menyoroti praktik fatwa bioetika di berbagai negara Islam, termasuk Arab Saudi, Mesir, Malaysia, Iran, dan Indonesia. Di Indonesia, Prof. Azizan menyinggung bagaimana peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan fatwa terkait vaksinasi, teknologi reproduksi, serta penanganan jenazah pada kondisi wabah. Hal ini menunjukkan bahwa bioetika Islam bersifat dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman, dengan tetap berpegang pada prinsip maqasid al-shariah.
Sebagai contoh konkret, Prof. Azizan memaparkan pengalaman Malaysia dalam menyusun Ethical Guidelines for Biotechnology in Malaysia yang berada di bawah Kementerian Sains, Teknologi, dan Inovasi (MOSTI). Pedoman ini disusun untuk memastikan bahwa pengembangan dan penerapan bioteknologi di sektor pertanian, kesehatan, dan industri dilakukan secara etis, bertanggung jawab, serta selaras dengan nilai budaya dan agama. Pedoman tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari akademisi, peneliti, industri, hingga lembaga keagamaan.
Dalam sesi selanjutnya, dibahas pula peluang dan risiko bioinovasi bagi masa depan kawasan ASEAN. Bioteknologi dinilai memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan, ketahanan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kemajuan ini juga memunculkan tantangan etis seperti kesenjangan akses teknologi, perlindungan data genetik, isu keadilan sosial, dampak lingkungan, serta sensitivitas agama dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan pedoman etika yang kuat agar inovasi tetap berjalan tanpa mengabaikan nilai kemanusiaan.
Prof. Azizan menegaskan bahwa keberhasilan bioinovasi tidak hanya diukur dari aspek penemuan ilmiah, tetapi juga dari sejauh mana manfaatnya dapat dibagikan secara adil dan bertanggung jawab. Ia menambahkan bahwa penguatan kolaborasi antara ulama dan umara menjadi kebutuhan mendesak di era modern, seraya menyampaikan “Islamic bioethics must always meet the requirements of maqasid al-shariah, while responding wisely to scientific and technological change.” Kolaborasi antara ulama dan umara, penguatan pendidikan bioetika, serta integrasi ilmu aqli dan naqli menjadi kunci dalam menghadapi tantangan bioetika di era modern. Bioetika Islam diharapkan mampu menjadi kerangka moral yang relevan dalam menjaga hubungan manusia dengan sesama, dengan Tuhan, dan dengan lingkungan.
Kegiatan kuliah umum ini mendapat antusiasme tinggi dari para peserta yang berasal dari berbagai latar belakang akademik. Melalui kegiatan ini, Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional berkomitmen untuk terus menghadirkan forum ilmiah yang mendorong dialog antara nilai-nilai keislaman dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi kontemporer.
-GI-


