Alam semesta yang dihuni oleh manusia ini, merupakan titipan Tuhan. Sehingga harus dijaga sebagaimana agama (dari Tuhan) yang selalu dijaga. “Manusia boleh mengembangkan atau menggunakan alam, namun tak boleh mengkhianatinya,” kata Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, Prof Budi Widianarko, pada seminar “agama ramah lingkungan” yang diadakan Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, Jumat, (14/11/14) di Aula 1 IAIN Semarang.
Kesadaran lingkungan, katanya, merupakan bagian dari iman. Dalam ajaran Katolik juga diajarkan oleh Paus Benediktus. “Ini berangkat dari kerusakan lingkungan akibat manusia. Karena ini persoalan serius. Lingkungan itu anugerah tuhan, yang sangat berharga,” lanjutnya.
Dalam ajaran katolik, lanjutnya, selalu memperhatikan kelestarian alam. Pada periode Paus Fransiskus pun, katanya, sangat perhatian dalam menjaga alam. “Karena perhatiannya dengan alam, maka beliau Paus Fransiskus digadang-gadang sebagai paus green. Beliau sedang menggalakan untuk penghijauan,” katanya.
Dalam pandangannya, agamawan juga perlu bertugas melakukan pembelaan lingkungan, kaum papa, dan miskin. “Gereja katolik selalu berusaha dalam melestarikan lingkungan. Meskipun dalam sejarahnya pernah telat respon dengan isu lingkungan,” tandasnya.
Gaya Hidup
Dalam perkembangannya, kerusakan alam juga disinyalir karena budaya komsumtif. Pencemaran lingkungan erat kaitannya dengan gaya hidup mewah dan berlebihan. Karena itu mengakibatkan produksi barang akan terus meningkat.
“Sebagai contoh, ketika manusia senang dandan dan gonta-ganti pakaian. Harus diingat bahwa untuk produksi pakaian limbahnya mencemarkan. Belum lagi ketika sudah tidak terpakai, kemudian dibuang ke sungai ini jelas mencemari alam,” sambung narasumber selanjutnya, Dr Fachruddin Mangunjaya.
Contoh lain dari gaya hidup yang mencemarkan lingkungan adalah senang dengan kendaraan. Mobil dan motor di kota-kota besar pasti mengalami kepadatan. Dengan penumpukan kendaraan dapat menimbulkan penumpukan gas emisi yang membuat pemanasan global. “Karena itu Islam mengajarkan untuk kita hidup sederhana,” tegasnya.
Dalam pemaparan akhirnya, Fachruddin menggambarkan fenoma kerusakan alam ini dengan sebuah hadis. Dalam hadis itu digambarkan sebagai sebuah analogi hidup bagai orang yang sedang menaiki sebuah kapal berlantai dua. Penumpang di lantai bawah kekurangan air namun penumpang di atas tak memberikannya.
Karena mereka kehausan, maka penumpang di bawah kemudian melobangi kapal. Akibatnya, semua penumpang karam karena kapalnya bolong.
“Ini mirip dengan kenyataan hidup sekarang. Terkadang orang-orang kecil, misikin atau dibawah itu tak punya modal untuk usaha. Dan para pemimpin di atas juga tidak memberikan modal. Sehingga mereka membakar hutan untuk dijadikan lahan bertani,” jelasnya.
Inilah yang melatarbelakangi harusnya berbagai. Supaya tak terjadi ketimpangan sosial. “Jadi harus ada balance atau keseimbangan. Ini sesuai dengan ajaran Islam untuk hidup seimbang,” terangnya.