Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa No.4/2014 tentang Perlindungan Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem pada 22 Januari 2014 silam. Fatwa tersebut merupakan jawaban dari permohonan fatwa dari Kementerian Kehutanan, Universitas Nasional, WWF Indonesia, Fauna dan Flora International serta Forum Harimau Kita tentang pelarangan pembunuhan dan perdagangan ilegal satwa langka.
Keluarnya fatwa MUI tentang perlindungan satwa langka ini ternyata mendapatkan apresiasi positif dari dunia internasional. Seperti yang diungkapkan Martin Palmer, Sekjen Alliance of Religion and Conservation (ARC) dari Inggris.
“Kami menyambut gembira dengan adanya fatwa tentang satwa langka ini,” kata Martin melallui rekaman video sebagai sambutan acara seminar nasional “Islam dan Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem” yang digelar Universitas Nasional di Jakarta pada Rabu (26/11/2014).
Martin mengatakan selama 30 tahun berkecimpung dalam dunia konservasi, dia baru menemukan fatwa dari lembaga agama untuk perlindungan satwa langka.
Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11). Gajah jantan ini diduga kuat korban dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya. Pemburu liar kerap beraksi di areal perkebunan yang terjadi konflik. Foto: Andreas Sarwono/FKGI
Sedangkan Hadi Alikodra, Guru Besar Konservasi Alam Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Advisor WWF Indonesia mengatakan fatwa MUI tersebut merupakan pertama kali di dunia, sehingga wajar mendapatkan apresiasi positif yang tinggi secara internasional.
Apresiasi dunia internasional menjadi logis karena selama ini Islam secara stereotip dikaitkan dengan isu terorisme, sosial dan kerusakan lingkungan. “Mereka logis untuk mengapresiasi fatwa ini. Dan baru agama Islam yang mengarah ke konservasi dengan MUI dan fatwa ini. Kami harapkan tidak hanya Islam, tetapi agama lain mulai mengeluarkan semacam fatwa,” kata Hadi yang menjadi pembicara kunci dalam seminar tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Hayu Prabowo, Ketua Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI mengatakan pendekatan agama untuk konservasi merupakan pendekatan yang baru dalam dunia internasional, yang dinamakan ekoteologi.
“Dunia internasional mungkin mengetahui fatwa Islam yang keras seperti fatwa terhadap pengarang buku Salman Rushdie. Dengan fatwa tentang satwa langka ini, dunia internasional mengetahui adanya fatwa mengenai lingkungan hidup. Mereka sangat mengapresiasi,” katanya.
Hayu menjelaskan fatwa tentang perlindungan satwa langka merupakan fatwa ketiga dari MUI terkait lingkungan hidup, setelah fatwa tentang pertambangan ramah lingkungan, fatwa tentang penyalahgunaan formalin untuk perikanan. “Akan terbit lagi fatwa mengenai pengelolaan sampah,” katanya.
Hayu menjelaskan keluarnya fatwa ini didasari bahwa pendekatan perbaikan lingkungan hidup dan satwa langka melalui ilmu pengetahuan itu tidak cukup. “Harus dilakukan perbaikan perilaku manusia yaitu akhlak. Karena kita umat Islam, maka rujukannya adalah Al Quran dan hadist,” katanya.
Dalam perspektif Islam, manusia sebagai hewan yang berakhlak harus menjaga hak satwa yang tercantum dalam Al Quran dan Hadist. “Binatang itu milik Allah SWT dan bisa digunakan untuk kemaslahatan kita,” katanya. Maka pelestarian satwa langka menjadi salah satu jalan untuk memperbaiki akhlak manusia.
Fatwa MUI tersebut berhasil menggabungkan pendekatan keimanan dengan peraturan tentang konservasi satwa. “Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlindungan satwa dilakukan dengan hukum positif yaitu penegakan hukum. Kita pendekatannya melalui hati dan perilaku. Perilaku baik bisa dipaksakan. Tetapi kita ubah dengan dorongan hati melalui bahasa agama, pendekatan moral. Kita harapkan manusia yang memiliki keimanan tauhid, bisa mematuhi peraturan dan kebijakan, sehingga bisa muncul dalam kebijakan atau perilaku,” kata Hayu.
Perdagangan harimau di Cina yang memakan korban ratusan harimau setiap tahunnya. Foto: IEA
Menurutnya, pendekatan agama melalui fatwa untuk konservasi menjadi sangat efektif karena menggabungkan akal (aqli) dari sisi ilmiah dan ketauhidan (naqli). “Pendekatan ini sangat efektif karena fatwa selain menyatukan pandangan bagi para ulama yang hafal ayat Al Quran dan Hadist. Tetapi bagaimana konteksnya dengan pentingnya kelestarian satwa dalam perspektif ilmiah. Fatwa ini membangun dua hal yaitu ilmu dari Al Quran dan Hadist dan ilmu dari ilmiah. Sehingga dasar fatwa berasal dari dalil naqli dan dalil aqli,” jelasnya.
Agar fatwa tersebut bisa dijalankan oleh umat Islam, MUI melakukan sosialisasi di kalangan internal MUI sendiri, sebelum disebarluaskan melalui dakwah kepada umat. “Langkah pertama kami adalah menyosialisasikan fatwa ini di kalangan internal MUI, para ulama, mubalig dan dai, supaya mereka mengerti konteks pelestarian satwa dengan ayat-ayat Al Quran dan hadist,” tambah Hayu.
Menurut Hadi Alikodra, efektivitas fatwa MUI untuk konservasi tergantung pelaksanannya di lapangan. “Efektivitas akan sangat tergantung dari bagaimana suatu gerakan membawa ini tidak hanya di kelas, tidak hanya retorika pada rapat dan seminar, tetapi masuk kepada mereka mengubah ekosistem. Ini sudah fatwa, maka masuk dalam tatanan sistem bagaimana seorang muslim yang berintelektual dan mengapresiasi Tuhan Yang Maha Kuasa dan menerapkannya di lapangan,” katanya.
Sementara Fachruddin Mangunjaya, Wakil Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional mengatakan dalam seminar tersebut tidak hanya membahas pelestarian alam dan lingkungan dalam perspektif Islam, tetapi juga dibhas tentang survey yang dilakukan Unas dan mitranya untuk efektivitas pelaksanaan fatwa MUI tersebut.
“Harapannya, melalui survey ini kita bisa melihat efektivitas fatwa dan mengupayakan jawaban ilmiah tentang upaya dan kekuatan fatwa ini dalam perubahan perilaku di masyarakat terhadap satwa langka,” katanya.
Bagi WWF Indonesia, fatwa MUI tersebut penting dan strategis karena melengkapi secara moral berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi ancaman serius kelestarian satwa langka seperti gajah Sumatera, harimau Sumatera, badak Jawa dan orang utan dari perburuan dan perdagangan liar.
“Salah satu ketentuan dalam fatwa ini tentang haramnya membunuh dan memperdagangkan satwa langka. Kami harapkan dapat meningkatkan kesadaran umat manusia akan pentingnya melestarikan berbagai satwa langka demi menjamin keberlangsungan kehidupan manusia.” Kata Chairul Saleh, Koordinator Spesies WWF Indonesia.
MUI, Unas, FFI, dan WWF Indonesia juga telah melakukan sosialisasi fatwa MUI tentang perlindungan satwa langka ini di Ujung Kulon Banten, Banda Aceh dan Pekanbaru Riau.