Fatwa Satwa Langka: Kontribusi Islam dan ‘Ulama kepada Dunia dan Planet Bumi

Umat Islam, dikaruniai sebuah kelebihan yang luar biasa, dan mereka sesungguhnya dibekali pula dengan konsep yang sangat baik dalam penuntun kehidupan: dunia dan akhirat. Tapi, sayang sekali umat Islam telah banyak lupa dengan keberuntungan itu.

Secara ekonomi, negara-negara Islam banyak memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seperti tambang minyak di Timur Tengah dan kekayaan alam keanekaragaman hayati yang beragam dan belum dimanfaatkan dengan baik di Timur Jauh, termasuk di Indonesia.

Kekayaan alam seperti minyak akan habis, demikian pula tambang. Tapi kekayaan sumber daya hayati pun tampaknya akan pupus disebabkan keserakahan manusia dan kebijakan yang tidak arif dan mempunyai visi jauh kedepan. Investasi yang rakus dan tidak mempertimbangkan kelestarian lingkungan ini, disadari atau tidak, pada akhirnya membawa bencana yang tidak menguntungkan pada semua penghuni planet ini. Tuhan telah menyediakan kestabilan bumi dan ekosistemnya sehingga manusia dapat hidup dengan harmoni didalamnya. Allah swt pula yang memperbaikinya, “…dan janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi, setelah  (Allah) memperbaikinya (Qs.al Araf 56 ).

Lihat: Publikasi Fatwa Perlindungan Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem (pdf)

Kemudian Allah memerintahkan manusia supaya tidak berperilaku mubazir dan boros, karena sumber daya manusia adalah terbatas. Semuanya. Lalu diperintah berbuat adil, karena keadilan merupakan sendi kehidupan yang harmonis. Ada kaya dan miskin, tapi ada sejumlah hak orang miskin pada kekayaan si kaya. Maka ada skema shadaqah, infak, zakat, pajak, jizyah…apapun bentuknya untuk keseimbangan dan keadilan sosial.

Adapun fatwa, merupakan salah satu jalan keluar. Umat Islam di Indonesia telah mempunyai kesedaran kultural yang baik tentang hubungan alam dan lingkungan, namun hanya terserap sebagai doktrin saja, tanpa diketahui alasan ilmiahnya. Misalnya kelestarian primata di pesisir Kalimantan dan beberapa kawasan dimana umat Islam berada, semata karena mengkonsumsi atau memburu primata adalah di tabu’kan atau diharamkan. Ajaran ini, telah tersosialisasi dengan baik, sebab memang diajarkan dalam fiqh Islam untuk tidak memakan daging primata. (Lihat makalah saya di Jurnal Ulumul Qur’an tahun 1998 dan buku Konservasi Alam Dalam Islam, YOI, 2005).

Kepunahan satwa langka, terutama yang bersifat sebagai spesies payung, seperti  harimau, orangutan, badak, penyu, gajah dan teman-temannya, dirasakan sudah sangat memprihatinkan. Maka, tahun ini, dengan penuh syukur kami bisa memfasilitasi kajian dan proses yang cukup panjang untuk menghasilkan kajian dan fasilitasi seningga muncul Fatwa MUI No 4, 2014, tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem  atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan Protection of Endangered Species to Maintain the Balanced Ecosystem.

Sambil berdoa dan berharap ini sebuah sumbangan yang kekal dan baik, sebagai jawaban ummat Islam dalam berkontribusi pada kelestarian planet bumi, atas landasan ibadah kepada Khaliqnya. Karena, bagi umat Islam, kehidupan dunia dan akhirat adalah sesuatu yang paralel, sehingga perilaku di dunia akan menentukan kebaikan pertanggunjawabannya di akhirat. Semua akan diminta pertanggundjawaban. Sebagai aktifis yang mengenal identifikasi dan latar belakang sains yang memadai, saya merasa berkewajiban, telaah yang saya kaji dari berbagai teori juga menjadi sumbangan bagaimana umat Islam memahami syariatnya.

Jadi syariat Fatwa Satwa Langka  untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem ini dilandasi kajian ilmiah dan dialog yang panjang dan perenungan, dan dilandasi keilmuan serta fasilitasi dijalani. Kami dari Universitas Nasional, bersama WWF Indonesia dan Kementerian Kehutanan serta MUI, melakukan kunjungan lapangan, dengan penuh kesadaran,  karena umat Islam telah terbukti dapat melakukan kebaikan melalui ajaran agamanya.

Terima kasih pada para pakar yang terlibat dalam perdebatan dan proses fasilitasi yang cukup panjang ini, terutama Tim Dewan Fatwa MUI yang sangat kritis dan kami sebagai aktifitis lingkungan sangat “tercengang” dengan pembahasan yang alot ketika sidang pleno, dan ketika argumen ilmiah sesungguhnya menjadi pelengkap yang absah atas sebuah fatwa.

Saya sendiri secara pribadi menjadi terharu, karena inilah rupanya jembatan yang pernah saya lihat dalam sebuah mimpi, menjembatani keilmuwan yang dipelajari dalam biologi konservasi dan keimanan. ternyata menjadi tafsir yang wujud.  Dibalik itu, respose dunia sangat mengagumkan, dan ternyata sangat positif pada fatwa ini, termasuk teman-teman di WWF yang telah lama bertungkus lumus dalam pelestarian satwa.  Fatwa ini mendapat sambutn, sejak di mention oleh Pangeran Charles dalam Pidato Beliau dalam Forum International Wildlife Trade (IWT) di London, dan Respon  positif  Menteri Zuklifli dan teman-teman di Kementerian Kehutanan, sehingga liputan yang sangat banyak dari media seluruh dunia.  Kementerian Kehutanan akan mengumumkan dukungannya pada 12 Maret minggu depan, di KBR Ragunan. Dari situ akan diketahui dukungan konkrit kedepan, tenga apa saja yang dilakukan setelah fatwa diluncurkan.

Tergambar tentang resnpons media dalam dunia maya, Googgle menampilkan lebih dari 190.000 kalau di sebut “wildlife fatwa” hari berikutnya tanggal 6 hari ini, kalau anda browsing ‘Fatwa wildlife National University‘  akan dijumpai 1 juta lebih entri, silahkan pilih karena kantor berita UPI sudah mengankat berita ini.

Atas kerja keras dan bantuan jejaring di seluruh dunia, niat kami, sebagaimana diutarakan pada  sidang Pleno Majelis Fatwa MUI untuk menyebarkan Fatwa ini pada Dunia, kelihatannya sangat berhasil. Dengan demikian, kita boleh juga mengatakan, “Ini adalah sumbangan Umat Islam Indonesia kepada Dunia dan Planet Bumi kita.”

Semoga fatwa ini mempunyai manfaat sebagai sumbangan Islam yang Rakhmatan Lil Alamin

Wallahu a’lam

LIHAT JUGA PUBLIKASI

Bagikan Artikel

Recent Posts