Hima

Hima’ merupakan salah satu istilah yang tepat untuk diterjemahkan menjadi kawasan lindung (dalam istilah sekarang). Othman Llewellyn, menyebutkan bahwa tradisi hima’ ditandai oleh fleksibilitas. Dalam hukum Islam, menurut Al-Suyuti dan fuqaha-fuqaha lain, sebuah hima’ harus memenuhi empat persyaratan yang berasal dari praktik Nabi Muhammad SAW dan khalifah-khalifah pertama:

  1. Harus diputuskan oleh pemerintahan Islam;
  2. Harus dibangun sesuai ajaran Allah – yakni untuk tujuan-tujuan yang berkaintan dengan kesejahteraan umum;
  3. Harus terbebas dari kesulitan pada masyarakat setempat, yakni tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan;
  4. Harus mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar untuk masyarakat ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya. [1]

Jika melihat kaidah fuqaha ini, maka, hima’, merupakan istilah yang paling mewakili untuk diketengahkan sebagai perbandingan kata dan istilah untuk kawasan konservasi: taman nasional, suaka alam, hutan lindung dan suaka margasatwa. Alasannya, semuanya kawasan konservasi ditetapkan oleh pemerintah (walaupun bukan pemerintahan Islam-sic). Kedua, pada dasarnya kawasan konservasi dibuat adalah untuk kepentingan kemaslahatan umum, misalnya: jasa ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, stok bahan-bahan genetic dan sumberdaya hayati, penyerapan karbon dan lain-lain.

Ketiga, penetapan kawasan konservasi tentu saja dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan kehidupan mereka. Keempat, kawasan konservasi merupakan sarana untuk menimbulkan maslahat jangka panjang, termasuk mencegah dari terjadinya bencana seperti kekeringan pada musim kemarau atau banjir pada saat musim hujan.

Oleh karena itu istilah hima’, bisa saja bermakna: taman nasional, hutan lindung, suaka margasatwa dll. Hima’ merupakan kawasan lindung yang dibuat oleh Rasullullah SAW dan diakui oleh FAO sebagai contoh pengelolaan kawasan lindung paling tua bertahan di dunia. Berbeda dengan kawasan lindung sekarang yang umumnya mempunyai luasan yang sangat besar dalam sejarah, hima’ memiliki ukuran luas yang berbeda-beda, dari beberapa hektar sampai ratusan kilometer persegi.

Hima’ al-Rabadha, yang dibangun oleh Khalifah Umar ibn Khatab dan diperluas oleh Khalifah Usman ibn Affan, adalah salah satu yang terbesar, membentang dari tempat ar-Rabadhah di barat Najid sampai ke dekat kampung Dariyah. Di antara hima’ tradisional adalah lahan-lahan penggembalaan yang paling baik dikelola di semenanjung Arabia; beberapa di antaranya telah dimanfaatkan secara benar untuk menggembala ternak sejak masa-masa awal Islam dan merupakan contoh pelestarian kawasan penggembalaan yang paling lama bertahan yang pernah dikenal. Sesungguhnya, beberapa sistem kawasan lindung diketahui memilik riwayat yang sama lamanya dengan hima’-hima’ tradisional.

Diperkirakan tahun 1965 ada kira-kira tiga ribu hima’ di Saudi Arabia, mencakup sebuah kawasan luas di bawah pengelolaan konservasionis dan berkelanjutan. Hampir setiap desa di barat laut pegunungan itu termasuk ke dalam salah satu atau lebih hima’, yang terkait juga dengan sebuah perkampungan sebelahnya. Hima’-hima’ itu bervariasi dari 10 sampai 1000 hektar dan rata-rata berukuran sekitar 250 hektar.[2]

Imam Al-Mawardi, menyebutkan, hima’ merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya untuk dimiliki oleh siapapun agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan pengembalaan hewan ternak. Rasullullah SAW melindungi Madinah dan naik ke gunung Annaqi’, dan bersabda: “Haza hima’ wa ‘asyaara biyadihi ilal qa i,” (ini adalah lahan yang kulindungi –sambil memberi isyarat ke lembah).[3] Nabi SAW juga pernah bersabda: “La hima’ ilallaha warasuluhu,” (Tiada hima’’ kecuali adalah milik Allah dan Rasulnya (untuk kemanusiaan). Jusamah meriwayatkan lagi, bahwa Nabi Muhammad SAW membuat lahan hima’’ di al-Naqi lalu Umar di al-Sharaf dan al-Rabazah. [4]

Banyak hima’ , yang telah dicanangkan di Saudi Arabia –sebagai peninggalan Islam, dan sekarang masih ada–juga terletak di daerah daerah yang kaya akan keanekaragaman hayatinya atau lahan-lahan hijau serta memiliki habitat-habitat biologi penting. Dengan demikian, tentu saja pemerintah tinggal meneruskan tradisin ini untuk untuk pemeliharaan keanekaragaman hayati. Namun karena masalah-masalah yang dihadapi oleh kawasan-kawasan konservasi semakin kompleks, makan perlu di eksplorasi potensi ekologinya melalui penelitian serta mengembangkan aspek sosio-ekonomi kawasan-kawasan tersebut sehingga menjadi maslahat bagi kepentingan ummat.

Oleh sebab itu, hima’ dapat dijadikan model legitimasi yang bisa ditampilkan ketika kehilangan spesies meningkat dan ekosistem menggerogoti kesuburan lahan, sebagai instrumen syariah yang penting untuk koservasi keragaman hayati. Untuk mewujukan potensi ini, setiap negara Muslim perlu membangun sebuah sistem hima’ – kawasan lindung — yang komprehensif berdasarkan inventarisasi dan analisa akurat mengenai sumber-sumber biologinya. Sistem seperti itu harus melestarikan [dan memulihkan] representasi setiap kawasan physiografis dan biota. Ia harus melestarikan [dan memulihkan] tempat-tempat produksi bilogis penting dan kepentingan ekologisnya, seperti lahan basah, pegunungan, hutan-hutan dan kawasan hijau, pulau-pulau, terumbu karang, mangrove, rumput laut dan semak-semak. Ia pun harus melestarikan populasi satwa langka dan terancam, satwa endemik dan spesis-spesis penting ekologi dan bernilai ekonomis.[5]

Bagaimana dengan Indonesia? Semangat pelestarian alam sudah dicanangkan termasuk di kawasan baru Taman Nasional Batang Gadis di Mandailing Natal, yang tadinya merupakan suaka alam, kemudian menjadi Taman Nasional. Peningkatan status menjadi taman nasional, memperjelas kedekatan pengelolaan kawasan tersebut menjadi lebih maslahat kepada ummat. Sebab dengan adanya taman nasional pengelolaan kawasan lebih dimungkinkan dengan pendekatan yang berkelanjutan: misalnya (1) pemanfaatan zona-zona lahan untuk kepentingan ekonomi (ekowisata, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu: karet alam, damar dll). (2) pemanfaatan kawasan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Kawasan asli diperlukan untuk memberikan input tentang kekayaan biologi dan kesempatan manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang isi yang terkandung didalamnya.(3) pemanfaatan kawasan sebagai aset dalam perawatan ekosistem baik lokal, regional maupun global yang dapat berbentuk jasa ekologi misalnya: daerah tangkapan air, hutan sebagai kawasan penyerap karbon (carbon sinc) atau sebagai paru-paru bumi, stok genetika dan kekayaan keanekaragaman hayati yang lain.

Oleh karena itu, sebagai legitimasi syariah, misalnya, untuk menjadikan penekanan ‘Islami’ terhadap kawasan konservasi, maka adalah absah untuk memberikan nama baru –yang Islami kawasan taman nasional menjadi sebutan, misalnya Hima’ Batang Gadis, Hima’ Gunung Leuser (di Aceh) dan seterusnya. Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah ber’azam menerapkan syariat Islam, memiliki potensi yang kuat untuk menerapkan baik secara istilah, maupun praktis dari syariat hima’ ini.

Hima sesungguhnya merupakan instrumen yang baik untuk pembangunan berkelanjutan, oleh sebab itu, hima’ yang paling bertahan adalah yang direncanakan dan dikelola, tidak oleh pemerintah pusat, tapi oleh masyarakat setempat sebagai stake holder yang hidupnya tergantung pada lahan itu. Taman Nasional Batang Gadis merupakan contoh dari perencanaan ini. Dalam sejarah awalnya, TNBG adalah diusulkan oleh pemerintah daerah bersama dengan masyarakat setempat, karena kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan alam untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati dan perawatan ekosistem.[6] Oleh sebab itulah, guna memungkinkan hima’ mencapai nilai potensinya untuk pembangunan berkelanjutan, harus ada keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaannya serta mengelolanya untuk mendapatkan keuntungan terus menerus yang dibagi secara sama di antara stake holders, yang pada gilirannya bertanggung jawab memelihara sumber-sumber itu.

[1] Dikutip dari Othman Llewelyn.2003. The Basic for a Discipline of Environmental law. Dalam Islam and Ecology R.C. Foltz, F.M. Denny and A.Baharuddin. Harvard Univ Press. Cambridge. hal 213 [2] ibid. Llewellyn, Othman. 2003. hal 214
[3] Al Mawardi, Imam. Al Ahkam As Sulthaniyyah.(Penerjemah:Fadhil Bahri). Darul Falah. Jakarta. 2000. hal 311.
[4] Lihat: Fiqh al Biah. A.S. Muhammad dkk. Laporan INFORM, 2004. h 25.
[5] ibid. Llewellyn, Othman. hal 216
[6] Conservation International Indonesia. Taman Nasional Batang Gadis: Warisan untuk Anak Cucu. CI Indonesia, Medan. 2004.

Bagikan Artikel

Recent Posts