Ihya al- Mawat, merupakan syariat dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia baik secara individu maupun kolektif. Semangat ini tercermin dengan penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah kawasan yang tadinya tidak mempunyai manfaat sama sekali (lahan kosong) menjadi lahan produktif karena dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayuran dan tanaman yang lain. Semangat ihya (menghidupkan) al-mawat (kawasan yang tadinya tidak hidup: atau mati). Merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar (tidak bertuan) dan tidak produktif.
Semangat masa awal Islam yang memberikan peluang untuk membuat perbaikan (ishlah) tercermin pada ihya al-mawat ini. Misalnya Nabi pernah bersabda:
‘Man ahya arldha maitatu fa hiya lahu,’ (siapa saja yang menghidupkan tanah yang tadinya tidak dipakai –terlantar atau bukan milik seseorang—maka tanah tersebut menjadi miliknya).
Semangat menghidupkan lahan yang terlantar (tidak mempunyai pemilik) ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. Ketentuan penggarapan tanah terseub menurut jumhur ulama tidak berlali bagi yang dimiliki oleh orang lain; atau kawasan yan apabila digarap akan mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum; misalnya tanah yang rawan longsor atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan berubahnya aliran air. [1]
Oleh karena itu peraturan terhadap penguasaan lahan untuk penerapan syariat ihya al-mawat ini harus kondusif. Misalnya Khalifah Umar Ibn Khattab, membuat undang-undang, untuk mengambil alih tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila terlihat lahan-lahan yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, masyarakat –pemerintah–dapat memproses lahan tersebut untuk agar dialihkan kepemilikannya supaya dapat dihidupkan dan menjadi produktif. Demikian pula, Islam melarang individu memiliki tanah secara berlebihan, dan juga dilarang untuk memungut sewa atas tanah karena pada hakekatnya tanah itu adalah milik Allah.
[1] Lihat Mangunjaya,F. 2005. Konservasi Alam Dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal 59