MALTA, Pusat Pengajian Islam (29/6) –Symposium International yang diikuti oleh pakar dari 12 negara, antara lain Bosnia and Herzegovina, Yunani, Indonesia, Lebanon, Malta, Kyrgyzstan, Morocco, Serbia, Spain, Saudi Arabia, South Africa, Turkey, yang telah mengadakan pertemuan di Malta, dari 24 hingga 26 April 2017, bersepakat menyimpulkan bahwa beberapa kearifan tradisional seperti adat, dan kawasan keramat alami (sacred natural sites ) atau disinkat SNS, terutama di dunia Muslim atau yang berpenduduk muslim dapat berkontribusi pada upaya perlindungan kawasan alami. Symposium yang di gagas oleh Delos Initiative, ini merupakan pertemuan ke IV yang mengusung tema:
The Delos Initiative merupakan bagian dari organisasi konservasi dunia atau IUCN (International Union for the Conservation of Nature, World Commission of Protected Areas (WCPA) dan beroperasi dibawah kerangka Specialist Group on Cultural and Spiritual Values of Protected Areas (CSVPA SG).
Selesai pertemuan, tersebut, para pakar menilai, bahwa signifikansi nilai spiritual yang mereka miliki dikaitkan dengan situs alami, dapat berkontribusi pada upaya konservasi. Simposium pakar ini menggunakan “situs keramat alami ” sebagai istilah umum yang mencakup beragam jenis wilayah, rezim pengelolaan dan pemerintahan yang berbeda, dan nuansa yang berbeda mengenai pemahaman tentang nilai spiritual alam. SNS diterjemahkan dalam bahasa dan istilah yang beragam, seperti tempat suci atau tempat yang tidak dapat diganggu gugat, daerah suci, tempat leluhur, tempat kekuatan spiritual dan banyak lainnya. Banyak nuansa penting dalam hal ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Lihat: Kawasan Konservasi Berbasis Islam Dihidupkan Kembali
Berbagai macam kawasan lindung dengan nilai spritual yang tinggi terdapat pada masyarakat Muslim, yang terbentuk dari ajaran Islam yang mengajarkan manusia sebagai pemegang amanah (khalifah) di muka bumi. Percontohan tentang ini ada pada dua tempat suci yang dilindungi yaitu tanah harams yang berada di sekitar Makkah dan Al-Madinah; yaitu hima, yang mencerminkan prinsip etis tentang perlindungan kawasan yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad saw. Lalu berbagai komunitas dijumpai melindungi kawasan dengan berbagai istilah seperti harim zones, hawtah, agdal, mahjar, qoroq, adat, doviste, mazarat, dan keramat. Tradisi ini terkadang diikuti dengan praktik konservasi yang terwariskan pada komunitas yang mempunyai keimanan, dan diakui sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut kesimpulan tersebut, keberhasilan menghidupkan kembali hima misalnya nyata dapat membantu perlindungna 18 situs dengan keanekaragaman hayati tinggi di Lebanon. Di kawasa ini terdapat 18 hima yang termasuk dalam enam kategori Important Bird and Biodiversity Areas sejak 2004. Partisipasi aktif masyarakat juga ditunjukkan dengan keaktifan komunitas sebagai penjaga hima, sehingga kawasan ini menjadi pendukung atau suplemen pada kawasan konservasi yang dibina oleh pemerintah. Sebuah NGO di Lebanon berhasil memobilisasi pemuda setempat sebagai pengawal hima Homat al-Hima (Hima Guardians) mendukung perlindungan kawasan tersebut, dengan melakukan minitoring lingkungan, rehabilitasi, meningkatkan penyadaran dan mengatur kunjungan pada kawasan tersebut.
Lihat: The Malta Statement of the Fourth Workshop of the Delos Intiative
Indonesia berbagi kearifan lokal Indonesia yang kaya, dimana Fachruddin Mangunjaya, Dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional dan Yoan Dinata dari Fauna dan Flora International, bersama mempresentasikan tentang adat dan lubuk larangan. Menurut pernyataan ini, revitalisi adat sangat penting untuk kegiatan konservasi. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar juga mempunyai keanekaragaman hayati terkaya di muka bumi, sungguh upaya ini sangat menjanjikan. Praktis konservasi berbasis masyarakat di Sumatra, pada umumnya berasosisasi dengan keimanan masyarakat Muslimnya.”Misalnya, dalam pembukaan dan penutupan lubuk larangan. Masyarakat di Rimbang Baling, Riau, menutup dan membuka lubuk dengan pengajian Al Qur an” jelas Fachruddin. Lubuk larangan merupakan tradisi untuk melarang pemanenan ikan dalam periode tertentu, yang mempunyai kaitan erat dengan pemanfaatan dalam hima dan harim zone.
Begitu pula, dengan hutan adat dan hutan nagari sangat terkait erat dengan tradisi masyarakat adat yang bersandi pada hukum Islam, seperti halnya pada masyarakat Minangkabau, dimana mereka mengusung slogan, “Adat basandi syara, syara basandi kitabullah (al Qur an).
Berita Terkait: