Sekitar 99,9% ilmuwan menyepakati perubahan iklim yang membahayakan seluruh kehidupan bumi saat ini terjadi karena ulah manusia. Namun, berdasarkan survei terbaru oleh organisasi nirlaba Dialogue Development Asia bersama Communications for Change, lebih dari 50% masyarakat Indonesia justru menyangkal hal tersebut.Temuan tersebut amat disayangkan. Upaya meredam laju perubahan iklim membutuhkan kontribusi dari seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk mengatasi pemanasan global juga membutuhkan dukungan publik supaya penerapannya efektif.
Kendati begitu, hasil survei di atas bisa menjadi peluang kita untuk mengemas ulang pesan-pesan yang lebih mengena di hati masyarakat. Harapannya, persoalan perubahan iklim bukan hanya menjadi konsumsi elit, tapi juga warga di tingkat akar rumput. Nantinya masyarakat yang memiliki kesadaran tentang perubahan iklim dapat lebih terlibat untuk menjaga kelestarian bumi.
Saya sebagai dosen biologi konservasi sekaligus peneliti kajian Islam berpendapat bahwa, di Indonesia, para penceramah agama Islam berperan strategis untuk menyebarkan pesan-pesan tersebut. Sebab, mayoritas penduduk tanah air beragama Islam. Sebagian besar di antaranya pun menempatkan ulama sebagai salah satu tokoh yang dapat dipercaya. Kita bisa menyampaikan pesan perubahan iklim secara reguler dan lebih tepat sasaran. Salah satu momen yang pas adalah dalam salat Jumat, ketika umat muslim berkumpul untuk mendengarkan khotbah dari penceramah.
Potensi ini bukanlah pepesan kosong belaka.
Pada 2015, para ulama dan cendekiawan Muslim menyepakati Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim Global (Islamic Declaration on Global Climate Change) di Istanbul, Turki. Deklarasi ini mengimbau supaya umat Islam lebih peduli dan aktif dalam menanggulangi bahaya perubahan iklim.
Baca juga: Pentingnya melibatkan ulama dalam promosi penggunaan energi bersih di Indonesia
Sejak lebih dari lima tahun lalu, saya bersama Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional dan lembaga terkait sudah terlibat dalam Program Dai Konservasi. Melalui program ini, kami melatih ribuan penceramah dari berbagai provinsi agar mereka lebih aktif menyampaikan pesan-pesan pelestarian satwa liar di berbagai daerah di Indonesia. Saya meyakini upaya ini dapat diperluas untuk mendekatkan pesan-pesan perubahan iklim di masyarakat, khususnya para muslim.
Pesan menjaga keseimbangan
Dalam membawa pesan tentang perubahan iklim, para penceramah dapat bersandar terhadap dalil-dalil yang ada dalam Al-Quran. Misalnya, dalam surat Al-Qamar ayat 49, Allah berfirman, “Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” Ayat ini menegaskan pesan keseimbangan alam bahwa segala sesuatu di dunia ini berjalan harmonis sesuai fungsi dan ukurannya masing-masing. Rukun Iman yang menjadi landasan akidah Islam juga menekankan kepercayaan manusia terhadap qadar, yakni suatu hal yang bisa diartikan sebagai ketentuan.
Al-Quran turut membicarakan konsep al Mizan (keseimbangan), di mana manusia dilarang mengganggu ataupun merusak keseimbangan tersebut. Karena itulah, keseimbangan merupakan hukum alam. Berbagai bukti ilmiah juga menunjukkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di bumi ini, mulai dari kebakaran hutan, memutihnya terumbu karang, dan cuaca ekstrem, adalah akibat dari keseimbangan yang terganggu.
Al-Quran dalam Surat Ar-Rum ayat 41 juga menyampaikan kerusakan-kerusakan yang terjadi di darat dan laut akibat perbuatan manusia. Terjadinya bencana alam terjadi yang merugikan manusia dan makhluk di bumi menjadi peringatan bagi manusia untuk menjaga keseimbangan itu. Namun begitu, penyampaian pesan perubahan iklim tak semata seputar kabar buruk. Untuk memelihara harapan di tengah-tengah masyarakat, para penceramah dapat memantik umat Islam untuk bahu-membahu mengatasi perubahan iklim. Aksi ini sejalan dengan tugas manusia sebagai khalifah atau pengurus bumi, seperti yang sudah tertulis dalam Surat Al-Baqarah ayat 30.
Untuk memperkuat pesan ini, para penceramah dapat memberikan contoh langkah-langkah yang sudah dilakukan umat Islam di belahan dunia, upaya dari lembaga pesantren di Indonesia melestarikan lingkungan,, ataupun inisiatif ‘hijau’ lainnya yang ditempuh oleh masyarakat di lingkungan terdekat mereka. Semua upaya tersebut dapat menjadi uswatun hasanah atau teladan baik yang bisa disampaikan para dai kepada umat.
Pentingnya Iqra
Ada sejumlah khotbah Jumat yang menyinggung isu bencana banjir tapi tidak memuat pesan yang mendorong masyarakat untuk berubah. Ceramah seperti ini amat disayangkan karena berangkat dari pemahaman Islam yang setengah-setengah. Islam justru menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar (melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk). Untuk memperbaiki kualitas pesan-pesan tersebut, para penceramah mesti kembali membuka buku dan literatur lainnya, termasuk karya-karya ilmiah.
Artinya, mereka harus kembali menghidupkan budaya iqra atau membaca. Bukan hanya teks yang tertulis yang ada di dalam Al-Quran (ayat-ayat qauliyah) tetapi juga bagaimana tanda-tanda kekuasaan Tuhan dalam bentuk ciptaan-Nya (ayat-ayat kauniyah) seperti peristiwa bergantinya siang dan malam, keberadaan langit maupun bumi.
Hal ini diperlukan agar khutbah sesuai perubahan zaman, di mana kerusakan bumi tengah menuju kondisi yang tidak bisa dipulihkan lagi. Namun para penceramah tidak bisa melakukannya sendirian. Kita membutuhkan gerakan yang lebih luas untuk membekali para dai menyampaikan pesan kepada umat Islam.
Kami di Pusat Pengajian Islam berfokus memperkuat pemahaman etika lingkungan dalam perspektif Islam. Kami juga mengadakan berbagai pelatihan untuk membekali para dai mengabarkan pesan pelestarian lingkungan hidup. Kami juga menyediakan referensi naskah khotbah yang dapat diadopsi oleh penceramah.
Majelis Ulama Indonesia juga melakukan hal serupa. Begitu pula organisasi Islam seperti Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU). Inisiatif ini perlu diperluas. Harapannya, ceramah berisikan pesan-pesan pelestarian hidup menjadi ‘tren’ baru yang tersebar di berbagai masjid di kota maupun desa.
Sumber : www.theconservation.com