Khutbah Jum’at : Makna Ekologis Puasa Untuk Keadilan Iklim

Jakarta-PPI Unas. Puasa di bulan Ramadhan tahun ini memiliki makna istimewa. Karena pada hari Jum’at, 22 April 2022 juga bertepatan dengan peringatan hari Bumi.

Ini menjadi momentum bagi umat Islam di seluruh dunia untuk merenungkan kembali arti ibadah puasa terhadap kehidupan alam dan bumi ini.

Parid Ridwanuddin menyampaikan khubah Jum’atnya mengenai makna ekologis ibadah puasa untuk keadilan iklim. Khubah menyadarkan kita ibadah puasa yang kita lakukan untuk menahan diri dari makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam juga bisa menjadi pembelajaran untuk menahan diri  mengkonsumsi makanan dan minuman yang diperoleh dari cara-cara yang merusak alam dan ataupun melanggar hak asasi orang lain.

Makna Ekologis Ibadah Puasa Untuk Keadilan Iklim

Oleh: Parid Ridwanuddin©

Khutbah Pertama

 Alhamdulillah alladzi anzalas sakinata fi qulubil mu’minina li yazdadu imanan ma’a imanhim. Asyhadu an laa ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammad abduhu wa rasuluhu.

 QalaLlahu ta’ala fil Qur’an al-karim: “Fal yanzhuril insanu ila tha’amih. Anna shababnal ma’a shabba. Tsumma syaqaqnal ardha syaqqa. Fa anbatna fi habba. Wa ‘inaban wa Qadhba wa zaitunan wa nahla. Wa hada’iqa ghulba. Wa fakihatan wa abba. Mata’an lakum wa li An’amikun. ” (Qs Abasa [80] ayat: 24-32)

 Wa qala Rasulullah saw: “Aktsaru ma yudkhilul jannata taqwallahi wa husnul khuluq.” (al-Hadits)

 Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat kesehatan, sehingga kita dapat melaksanakan ibadah baik yang mahdhah maupun yang ghayr mahdhah, diantaranya adalah ibadah usbuiyyah yaitu ibadah jumat yang kita laksanakan pada siang ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi dan Rasul utusan Allah yang terakhir, Nabi Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, tabiin, dan kita yang istiqomah mengikuti jejak langkah beliau dalam menebarkan kebaikan kepada semesta.

 Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Izinkan khatib mengajak diri sendiri dan jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatan ketaqawaan kepada Allah swt dengan sebenar-benar taqwa.

 Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Kita telah memasuki Bulan Ramadan, bulan mulia penuh berkah. Semoga rangkaian ibadah puasa yang akan dijalani menempa kita menjadi manusia yang sesungguhnya, manusia yang bertuhan sekaligus berpihak pada kemanusiaan dan keadilan serta kelestarian lingkungan hidup.

Selain itu, bulan ini, kita akan menginjak tanggal 22 April 2022. Masyarakat dunia memperingati tanggal 22 April sebagai hari bumi (earth day). Peringatan hari bumi yang jatuh pada Bulan Ramadan tahun ini adalah hari bumi yang ke-52, terhitung sejak tahun 1970 yang lalu. Peringatan hari bumi penting untuk dilakukan mengingat krisis lingkungan hidup global yang kini menghantam planet bumi, sebagai rumah kita bersama dan seluruh makhluk, tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sebaliknya, laju krisis terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Bulan Ramadan merupakan momentum sakral. Pada bulan inilah Kitab Suci Al-Quran diturunkan (Nuzūlul Qur’ān) sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda antara yang yang benar dan yang batil (QS al-Baqarah: 185).

Penegasan bahwa al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Quran selama bulan puasa ini. Orang yang mempelajarinya diharapkan dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasannya. Karena dengan membaca al-Quran, ketika itu yang bersangkutan menyiapkan wadah hatinya untuk menerima petunjuk Ilahi berkat makanan ruhani yang memenuhi kalbunya (Shihab, 2002: 488).

Said Nursi, seorang ulama sekaligus sufi berkebangsaan Turki, menulis di dalam buku al-Kalimāt atau The Words, bahwa al-Quran adalah kalimat yang menguraikan, penjelasan yang menjelaskan, bukti yang meneguhkan, serta penjelasan terhadap dzat, sifat, nama-nama, dan perbuatan Ilahi. Ia adalah pembimbing bagi kemanusiaan. Al-Quran adalah cahaya sekaligus air ajaran Islam. Ia adalah kebijaksanaan sejati bagi umat manusia, panduan yang benar serta pemimpin yang mendorong manusia untuk menemukan kebahagiaan.

Dalam hubungannya dengan alam raya dan lingkungan hidup, al-Quran merupakan ayat-ayat qauliyyah, yang merupakan pasangan terhadap ayat-ayat kauniyyah. Dalam bahasa Said Nursi, al-Quran disebut sebagai “lisan” yang mengartikulasikan keberadaan alam raya. Pada saat yang sama, berbagai fakta yang terdapat di alam raya menjelaskan kebenaran yang tertulis di dalam kitab suci al-Quran. Bahkan, Alam semesta membawa al-Quran lebih dekat kepada pemahaman kita dengan menunjukkan banyak hal, di antaranya, perubahan warna daun.

Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat kuat antara al-Quran dengan alam semesta, antara ayat-ayat qauliyyah dengan ayat-ayat kauniyyah, antara recited book dengan observed book, dan antara kitab bacaan dengan lingkungan hidup sebagai rumah kehidupan.

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Kini kita hidup di era Antroposen. Konsep Antroposen dicetuskan oleh Paul Crutzen, seorang ahli kimia Belanda yang telah menerima hadiah nobel karena menemukan efek senyawa kimia yang melubangi lapisan ozon. Antroposen, berarti masa geologis saat ini yang didominasi manusia. Di antara penanda perubahan geologis pada era antroposen adalah kegiatan manusia telah mengubah antara sepertiga sampai setengah permukaan daratan planet.

Karena manusia telah merusak lebih dari setengah permukaan planet bumi, kita harus berhadapan dengan krisis lingkungan hidup atau krisis iklim. Krisis dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi di mana sesuatu berada dalam kondisi buruk atau menuju kehancuran. Krisis lingkungan hidup sebagai suatu keadaan ekologis di planet bumi ini yang sudah sangat kritis sehingga menjadi bencana yang sangat nyata menelan korban jiwa dan harta benda dari hari ke hari di hadapan dan dalam pengalaman hidup kita sehari-hari.

Dalam bahasa agama, krisis ekologi atau krisis lingkungan hidup dinamakan dengan fasād. Term fasād dengan seluruh kata jadiannya di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 50 kali, yang berarti sesuatu yang keluar dari keseimbangan (khurūj al-sya’i ‘an al-i’tidāl).

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Pada tahun 2000 United Nations Environment Programme (UNEP) memprediksikan dampak kehancuran kehidupan akibat krisis iklim. UNEP menyebut  pada tahun 2025 seperempat dari 4630 jenis mamalia di dunia dan 11% dari 9675 spesies burung berada pada risiko kepunahan yang serius; lebih dari setengah terumbu karang dunia terancam oleh pengerukan, dan pemanasan global; 80% hutan telah ditebangi; satu miliar penduduk kota terpapar pada tingkat polusi udara yang mengancam kesehatan manusia; populasi global akan mencapai 8,9 miliar pada tahun 2050, naik dari 6 miliar pada tahun 2000; pemanasan global akan menaikkan suhu hingga 3,6 ° C, memicu kenaikan ‘dahsyat’ di permukaan laut dan bencana alam yang lebih parah; dan penggunaan pestisida secara global menyebabkan hingga lima juta insiden keracunan akut setiap tahun.

Tak hanya itu, pada masa yang akan datang, kita akan menghadapi climate apartheid, yaitu kondisi dimana orang-orang kaya yang memiliki banyak harta dapat membayar supaya mereka terhindar dari kelaparan (akibat krisis pangan) yang disebabkan oleh krisis ekologis dan krisis iklim. Pada saat yang sama, orang-orang miskin di dunia yang jumlahnya lebih banyak, harus hidup menderita dalam kondisi ketiadaan pangan. Akibat kondisi ini, diperkirakan pada tahun 2050 akan ada satu triliun orang yang melakukan migrasi ke berbagai tempat demi menghindari dampak buruk krisis iklim.

Di Indonesia, sepanjang tahun 2000-2019 saja tercatat hampir 30 juta orang yang harus menjadi pengungsi ekologis akibat banjir yang terjadi setiap tahun akibat hancurnya sumber daya alam oleh segelintir orang.

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Krisis lingkungan hidup dan atau krisis iklim terjadi karena sekelompok orang di dunia menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam. Menurut catatan Oxfam (2020), sebesar 1% orang terkaya dunia kekayaannya setara 2 kali lipat total kekayaan 6,9 milyar penduduk bumi.

Di dalam  laporan yang berjudul Confronting Carbon Inequality dan dipublikasikan pada 21 September 2020 lalu, Oxfam menyebut Satu persen orang kaya dari total populasi dunia bertanggung jawab atas dua kali lebih banyak polusi karbon dari pada 3,1 miliar orang yang merupakan separuh populasi masyarakat miskin dalam 25 tahun terakhir.

Sementara itu, di Indonesia, Oxfam mencatat (2017) 1% orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 49% kekayaan seluruh orang Indonesia. Dengan demikian, empat (4) orang terkaya di Indonesia kekayaannya setara dengan 100.000.000 orang termiskin. Dalam pada itu 60% daratan  di Indonesia dikuasai oleh korporasi yang dimiliki orang-orang terkaya melalui perizinan dan konsesi yang diberikan oleh pemerintah.

Potret ketidakadilan sebagaimana digambarkan dalam data-data di atas seharusnya mendorong kita untuk berefleksi secara mendalam. “Jangan-jangan kita menjadi bagian penting yang menyebabkan ketidakadilan iklim sehingga berdampak pada ketidakadilan antar generasi yang akan datang?”

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Pada titik ini, kita penting untuk merenungkan kembali dampak dari ibadah puasa kita. Apakah Ibadah puasa mendorong kita untuk terlibat dalam memecahkan persoalan ini? Jika kita merenungkan makna puasa lebih dalam, maka kita akan menemukan makna ekologis di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dalam definisi puasa yaitu: al-imsaku anil akli wa syurbi wa ghasayani nisa min qabli thulu’il fajari ila ghurubis Syamis ibtigha’a mardhatillah. (menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan suami istri sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari dengan niat mencari keridhaan Allah swt)

 Frasa al-imsaku anil akli wa syurbi yang berarti “menahan diri dari makan dan minum” tidak bisa hanya dipahami sekedar meninggalkan makan dan minum pada siang hari dan kembali makan saat waktu berbuka telah datang. Frasa tersebut menyadarkan kita tentang makna ekologis, dimana pelaku ibadah puasa harus sadar betul dan peduli pada kondisi alam yang menjadi asal-usul makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari. Lebih jauh, puasa harus mendorong kita untuk terlibat aktif dalam upaya melindungi kelestarian planet bumi yang menjadi rumah bersama.

Frasa al-imsaku anil akli wa syurbi juga harus mendorong kita untuk memiliki kepedulian terhadap cara memperoleh dan mengolah makanan dan minuman. Apakah makanan dan minuman yang kita konsumsi diperoleh dengan cara merusak lingkungan dan melanggar hak asasi alam, serta melanggar hak asasi manusia? Pertanyaan semacam ini penting disampaikan kepada diri kita yang melakukan ibadah puasa.

Terkait hal ini, Allah swt menegaskan di dalam Surat Abasa [80] : ayat (24-32), yang disebut oleh khatib di muqaddimah, yang berarti:

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu. Anggur dan sayur-sayuran. Zaitun dan kurma. Kebun-kebun (yang) lebat. dab buah-buahan serta rumput-rumputan. untuk memenuhi kebetuhanmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Frasa al-imsaku anil akli wa syurbi juga harus mendorong kita untuk menyusun langkah perlawanan terhadap krisis lingkungan hidup dan krisis iklim yang terus memburuk. Perlawanan ini ditujukan untuk menegakan keadilan iklim dan keadilan antar generasi. Keadilan antar generasi dapat dirumuskan kepada dua hal utama, yaitu: pertama, apa yang terjadi di masa kini di planet bumi merupakan dampak dari masa lalu; dan kedua, masa depan planet bumi sangat ditentukan oleh cara manusia memperlakukan planet ini pada masa sekarang. Terkait hal ini, Di dalam hadits Nabi, bersabda: “In Qāmat as-Sā’ah wa fī yadi ahadikum fasīlah, fa in istathā’a an lā taqūma hattā yugrisaha fal yugrisha.” -Jika seandainya kiamat akan terjadi esok hari. Sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada benih, maka tanamlah sebelum kiamat itu datang.

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Semangat perlawanan terhadap krisis lingkungan hidup dan krisis iklim yang diturunkan dari nilai ibadah puasa, perlu dirumuskan ke dalam langkah kongkrit yang sesuai dengan kondisi umat. Perlu dimulai di berbagai komunitas dengan cara membangun kerja sama dengan banyak pihak yang memiliki kesamaan gagasan mengenai keadilan iklim dan keadilan antar generasi.

Barakallahu li wa lakum bil Qur’anil Azhim wa naf’ani wa iyyakum bima fihi minal ayati wa dzikril hakim wa taqabbala minni wa minkum tilawatahu innahu huwas sami’ul alim

 KHUTBAH KEDUA

 Alhamdulillahi rabbil alamin wa bihin nasta’inu ala umurid dunya wad dinn. Asyhadu an laa ilaha illaLlah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.

 Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah

Sebagai bagian penting dari masyarakat global, umat Islam di dunia seharusnya memainkan peran penting dalam rangka memerangi krisis lingkungan hidup yang terus terjadi. Dengan jumlah penganut sebanyak 1,8 miliar jiwa, atau sekitar 24 persen dari total populasi dunia –berdasarkan data PEW Research Center, umat Islam sangat penting untuk menunjukkan sikap kritis terhadap praktik penghancuran planet bumi.

Tak hanya, diperlukan gerakan perlawanan secara masif dan komprehensif untuk membela keberlangsungan planet ini dengan artikulasi yang dapat dipahami oleh berbagai kalangan. Di Indonesia, persentase umat Islam berdasarkan catatan sensus penduduk pada akhir tahun 2017, sebanyak 87,2 persen dari total penduduk Indonesia sebanyak 265 juta jiwa. Meski jumlahnya sangat besar, mayoritas umat Islam masih belum mampu menunjukkan resistensi terhadap berbagai bentuk krisis lingkungan hidup, baik di lautan maupun di daratan.

Di dalam khutbah ini. khatib menyampaikan sejumlah agenda bersama yang dapat dilakukan dalam rangka menyelamatkan planet bumi, khususnya dalam konteks Indonesia, yaitu:

Pertama, umat Islam di Indonesia perlu melakukan reformulasi di dalam merespon krisis lingkungan hidup global. Perlu diakui, persoalan lingkungan hidup global merupakan tantangan termutakhir yang tak ditemukan di dalam sejarah pada masa lampau, khususnya sejarah umat Islam. Karenanya, berbagai konstruksi teologis-filosofis atau ijtihad dalam bidang fiqih, relatif sulit ditemukan di dalam kitab-kitab turast.

Salah satu hal yang dapat kita rujuk adalah konsep mengenai maqashid syariah yang ditulis oleh sejumlah ulama, seperti Imam Asy-Syathibi, tidak secara eksplisit menyebut perlindungan lingkungan hidup (hifdz al-bi’ah) sebagai salah satu tujuan diturunkannya syari’ah. Padahal, keberlangsung hidup manusia, khususnya umat Islam di dalam konteks melaksanan ibadah, takkan bisa dilaksanakan tanpa adanya lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berdasarkan hal tersebut, produksi pengetahuan mengenai teologi lingkungan hidup, filsafat lingkungan hidup, atau fiqih lingkungan hidup di dalam diskursus keilmuwan Islam sangat penting untuk terus dilakukan sejak level sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Tanpa hal ini, kita takkan memiliki pijakan filosofis dan pijakan religius di dalam melawan krisis yang terjadi.

Kedua, umat Islam perlu menyusun gerakan sosial-politik untuk melawan berbagai bentuk eksploitasi alam yang dilakukan oleh kapitalisme melalui berbagai perusahaan multi nasional untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem penting. Harus diakui, krisis planet bumi adalah buah dari sistem kapitalisme yang membuat planet ini terus berdarah-darah. Jika dahulu kapitalisme dianggap hanya mengeksploitasi manusia, kini kapitalisme telah mengeksploitasi manusia sekaligus planet bumi.

Lebih jauh, umat Islam harus mengajak umat beragama lainnya di Indonesia guna melakukan konsolidasi gerakan sosial-politik di dalam mengoreksi berbagai kebijakan politik yang dilahirkan oleh negara atas nama pembangunan atau investasi. Tak lupa, umat Islam perlu menjadi motor penggerak dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup, yang dimulai dari kalangan anak muda di berbagai komunitas.

Demikianlah khutbah ini disampaikan. Semoga Allah menjadikan kita termasuk ke dalam kelompok orang yang berbuat kemaslahatan di muka bumi, serta tidak menjadikan kita termasuk ke dalam kelompok orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Dan semoga Allah menganugerahkan kita kemampuan untuk menangkap pesan ekologis di balik ibadah puasa, khususnya pesan keadilan iklim dan keadilan antar generasi.

Ditutup dengan doa

 Allahumma ighfir lil muslimin wal muslimat wal mu’minina wal mu’minat wal……

Rabbana atina fi dunya hasanah…..

Ibadallah Innal yamurukan bil adli wal ihsan…….

© Pengajar pada program studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Wakil Sekretaris Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, peneliti isu trade and climate pada Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).

 

Bagikan Artikel

Recent Posts