Menjaga Lingkungan dengan Spiritualitas

Pendekatan spiritual berbasis masyarakat dinilai menjadi solusi alternatif mencegah perilaku merusak lingkungan oleh manusia. Hal ini penting, mengingat manusia menjadi faktor utama berkurangnya keanekaragaman hayati.

JAKARTA, KOMPAS – Pendekatan spiritual berbasis masyarakat dinilai bisa menjadi solusi alternatif untuk mencegah perilaku merusak lingkungan oleh manusia. Hal ini penting, mengingat manusia menjadi faktor utama dari berkurangnya spesies satwa dan tumbuhan di muka bumi.

Ketua Pusat Pengajian Islam (PPI) Universitas Nasional (UNAS) Fachruddin Mangunjaya mengatakan, selama ini upaya-upaya pemerintah untuk mencegah tindakan merusak lingkungan oleh masyarakat kerap gagal. Dalam hal ini, pendekatan spiritual dan keagamaan bisa dijadikan alternatif untuk memberikan pemahaman.

“Di masyarakat berkembang adat istiadat yang bisa dijadikan larangan merusak lingkungan apabila dikapitalisasi,” katanya usai Konferensi Internasional dengan Tema “Religion, Law and Culture in Achieving Sustainable Development Goals” di Jakarta, Selasa (29/10/2019).

 

Salah satunya seperti yang dianut oleh masyarakat di Sungai Subayang Kabupaten Kuantan Singingi dan Kampar, Provinsi Riau lewat Lubuk Larangan. Lubuk larangan adalah sebuah area sungai yang telah disepakati masyarakat untuk tidak dieksploitasi dalam jangka waktu tertentu.

Aturan lokal tersebut sangat dihormati oleh semua masyarakat. Adapun, keuntungan yang didapatkan adalah pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pendapatan ekonomi masyarakatnya menjadi terjaga.

 

 

Selain itu, lima tahun silam juga telah disahkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Melalui fatwa tersebut, Fachruddin berharap agar para tokoh agama bisa mengajarkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an tentang pelestarian lingkungan.

“Ada banyak ayat yang mengajarkan tentang tata cara menjaga lingkungan. Hanya saja, fatwa tersebut kini masih belum banyak diketahui,” katanya.

 

 

Fatwa tersebut sekaligus memberikan penegasan kepada masyarakat, khususnya yang beragama Islam bahwa perdagangan satwa liar dilarang oleh agama. Selama ini, masyarakat hanya mengamini beberapa jenis hewan yang dilarang untuk dikonsumsi, bukan dijual.

Ulah manusia

Direktur Program International Animal Rescue Indonesia Karmele Liano Sanchez mengatakan, ada sekitar satu miliar spesies hewan dan tumbuhan yang kini terancam punah. Hilangnya keanekaragaman hayati, sebagian besar memang disebabkan oleh manusia.

Sepanjang tahun 1973 – 2010 saja, ada sekitar 20 juta hektar kawasan hutan dunia yang dinyatakan hilang. Khusus di Kalimantan, setidaknya 40 persen kawasan hutannya hilang dalam 40 tahun terakhir.

“Berkurangnya hewan liar, 83 persennya adalah dampak perilaku manusia. Manusia juga memberi dampak sebesar 50 persen terhadap menurunnya spesies tumbuhan,” katanya.

Menurut Karmele, hal ini tidak mengherankan. Sebab, merujuk data dari Forum Ekonomi Dunia 2016, perdagangan satwa liar menjadi sektor perdagangan paling menguntungkan keempat setelah narkoba, manusia dan senjata. Nilainya berkisar antara 7 – 23 miliar dolar AS dalam setahun.

Ia menambahkan, hal ini harus menjadi isu strategis. Penjualan satwa liar harus dihentikan. “Hewan dan tumbuhan tidak bisa bersuara atau mengeluh, oleh sebab itu, mereka membutuhkan kita untuk bersuara,” katanya.

Tidak mustahil

Kepedulian manusia akan lingkungan bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan, masyarakat Tangkahan yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser telah melakukannya.

Menurutnya, Tangkahan adalah kawasan yang sejak 1970 dipenuhi oleh masyarakat yang melakukan pembalakan hutan secara liar. Sekarang, mereka mengubah nasib dengan mengembangkan ekowisata. Pengunjungnya, tidak kurang dari 5.000 orang pertahun.

“Sudah 17 tahun ini, hutan-hutan di sana yang dulu ditebangi, dijaga oleh masyarakat lokal,” katanya.

Masyarakat Tangkahan menyadari, apabila pembalakan liar terus dilakukan, hutan di kawasan tempat tinggal mereka akan habis. Jika hal tersebut terjadi, mereka tidak lagi bisa memanfaatkannya untuk sumber kehidupan. Kesadaran itu yang mendorong perkembangan Ekowisata berbasis komunitas di sana.

Mereka menyediakan paket wisata gajah. Para wisatawan diajak untuk melihat aktivitas dari gajah Leuser, termasuk ikut memandikannya. Tidak tanggung-tanggung, masyarakat di sana bahkan rela belajar Bahasa Inggris untuk menggaet wisatawan mancanegara.

“Kawasan koservasi bukan warisan tapi pinjaman bagi generasi yang akan datang. Pemerintah berupaya menjaga itu,” kata Wiratno.

Menurutnya, menyadarkan masyarakat atau bahkan menggandeng mereka dalam kampanye konservasi menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, saat ini Indonesia memilki sebanyak 27,1 juta hektar kawasan konservasi yang langsung berbatasan dengan 6.000 desa. Jumlah penduduknya tidak kurang dari 9,5 juta orang.

Sumber : www.kompas.id

Bagikan Artikel

Recent Posts

AGENDA

Green Islam

Program Kajian Pemikiran Islam (KPI) kembali hadir dengan tema besar “Green Islam” yang berlangsung setiap Sabtu dari 7 September hingga 14 Desember 2024. Program ini

Read More »