Agama dan lingkungan menjadi fokus menarik bagi akademisi dan pengambil kebijakan.
Oleh FACHRUDDIN M MANGUNJAYA; Dekan Fakultas Biologi dan Pertanian dan Chairman Center for Islamic Studies, Universitas Nasional (UNAS)
Agama dan lingkungan menjadi fokus yang menarik bagi akademisi dunia dan pengambil kebijakan. Hal ini karena apa yang diperlukan dalam upaya memperbaiki lingkungan hidup adalah bertumpu pada bagaimana mengubah persepsi dan perilaku serta tindakan manusia dalam memperlakukan alam.
Dalam dua tahun terakhir, saya diundang untuk berdiskusi dengan tim Georgetown University-Qatar (GU-Q) pada November 2023, dan Georgetown University-Washington (GU-W) pada awal Juni 2024.
Sedang dirancang upaya diseminasi peningkatan kapasitas akademis, rencana pembelajaran dari tingkat menengah atau pendidikan tinggi, kebijakan lingkungan hidup, berbasis agama.
Sedang dirancang upaya diseminasi peningkatan kapasitas akademis, rencana pembelajaran dari tingkat menengah atau pendidikan tinggi, kebijakan lingkungan hidup, berbasis agama.
Dialog ini dikawal langsung oleh Thomas Banchop, Vice President Berkeley Center of Religion and World Peace, GUW, serta Shafwan Masri, Dekan GUQ yang sengaja terbang dari Doha, di tengah kesibukannya.
Beberapa sarjana lain yang tergabung dalam dialog ini, antara lain, Willis Jenkins, University of North Carolina; Fachruddin Mangunjaya, Universitas Nasional, Jakarta; Laura Vargas, Rain Forest Initiative, David Saperstein Religious Action Center for Reform Judaism; dan Katherine Marshall, Georgetown University.
Dalam sesi dialog publik yang diadakan di ruang perpustakaan Riggs Library, dengan pajangan buku-buku klasik abad 17-18. Untuk membahas pertanyaan bagaimana upaya menjembatani antara nilai spiritual, kehidupan beragama, dan mobilisasi politik sekitar agenda lingkungan hidup dan apakah yang dapat ditarik dari proses di COP-28 lalu dan bagaimana tantangan dan peluangnya serta dampak ke depan?
Dialog di sesi kedua, tentang peran tokoh agama, bagaimana pendekatan terhadap nilai ekologis dibandingkan dengan laudato si? Juga bagaimana al-Mizan dapat berkontribusi lebih besar pada dampaik issue interfaith bidang lingkungan ke depan?
Sesi ini diisi oleh Odeh Al-Jayoussi, Guru Besar Arabian Gulf University, Bahrain; dan Sevim Kalyoncu, Executive Director, Green Muslims; Laurel Kearns, Drew University, Munjed Murad, United Theological Seminary of the Twin Cities; dan Thomas Banchoff, Georgetown University.
Saya juga memberikan paparan tentang studi kasus yang dilakukan di Indonesia, di mana ada inisiatif tentang fatwa-fatwa lingkungan hidup yang dapat membantu hukum positif Indonesia. Termasuk Laura Vargas, dari Peru, yang berbicara tentang Interfaith Rainforest Initiative (IRI) di Amazon dan paparan saya tentang IRI di Indonesia, yang memaparkan apa yang berhasil apa yang tidak berhasil dalam kegiatan tersebut dan apa yang dapat dilakukan ke depan.
Perspektif alam sebagai objek yang selama ini menjadi pandangan umum selama berabad abad sudah harus berubah. Namun, dilemanya, keadaan ini masih belum sepenuhnya disadari.
Alam seolah olah adalah objek yang harusnya diekploitasi untuk kesenangan manusia. Mereka tersedia, dan, manusia harus menaklukkan alam.
Perspektif alam sebagai objek yang selama ini menjadi pandangan umum selama berabad abad, sudah harus berubah.
Keadaan tersebut tergambar, misalnya di Indonesia. Kita masih memegang strategi usang, di mana hasrat tertumpu pada upaya memanfaatkan sumber daya alam secara eksploitatif, memandang alam sebagai objek. Dan manusia adalah subjeknya.
Alam kemudian menjadi korban, ketika ditambang, menjadi berlobang dan ditinggalkan, hutan gundul dan tidak dikembalikan. Tanggung jawab tidak dijalankan.
Walaupun telah ada strategi kebijakan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Faktanya berpuluh tahun kemudian, hutan telah terkonversi menjadi habitat lain, tanaman industri, kebun kebun sawit, tambang, atau daerah pemekaran baru untuk memenuhi hasrat manusia.
Sebab itulah, pandangan harus diubah. Ternyata, akar dari persoalan adalah tentang rusaknya moral pemegang amanah, yaitu pandangan manusia yang melihat alam sebagai objek untuk melayani hasrat dan nafsu.
Persis seperti digambarkan oleh SH Nasr, “Manusia memperlakukan alam seperti halnya pelacur.” Tidak amanah dan alam ditinggalkan, tanpa tanggung jawab, ibarat hanya membayar keuntungan kepada muncikari, setelah hasrat tercapai.
Melihat ulang teks dan memperbaharui persepsi secara keseluruhan maksud diciptakan manusia di muka bumi, menjadi sebuah keniscayaan. Manusia seperti dimandatkan dalam kitab suci adalah sebagai khalifah dalam arti luas.
Jadi, melihat ulang teks dan memperbaharui persepsi secara keseluruhan maksud diciptakan manusia di muka bumi, menjadi sebuah keniscayaan. Manusia seperti dimandatkan dalam kitab suci adalah sebagai khalifah dalam arti luas.
Mandat ini bukanlah penguasa alam, tetapi adalah pengemban amanah (stewardship). Ketika amanah dipegang, maka seharusnya, alam bertambah baik dan tidak rusak. Dia harus terwariskan sebagaimana adanya, bahkan lebih baik.
Dalam dialog di GUW, tergambar tentang upaya memperbaiki pandangan, menggeser paradigma, memahami kembali ajaran moral agama. Dalam upaya ini, ada dua dokumen penting interpretasi pandangan tentang lingkungan hidup dan perubahan iklim, telah tertuang pada ensiklikal, Laudato’ si, yang dikeluarkan oleh Sri Paus Fransiscus pada 2014.
Kemudian menyusul dokumen yang dibuat oleh para sarjana terkemuka Muslim di bidang lingkungan hidup, yaitu al-Mizan, Covenant (Perjanjian al-Mizan) yang diumumkan pada Februari 2024 di UNEA 4, Nairobi Februari 2024 lalu.
Dua dokumen ini dianggap sangat penting, dan dapat menjadi rujukan setidaknya untuk memberikan perubahan perspektif mengelola alam dalam cara pandang Kristiani dan Islam, dua mayoritas pemeluk agama terbesar di planet bumi yang dapat juga menjadi motor upaya pendekatan lainnya.
Sebab sains ekologi saya tidaklah cukup, sehingga harus melekat pula kekuatan spiritualitas, etika, dan moral dalam mencari solusinya.
Sumber : www.republika.co.id