Agama yang memiliki peranan penting di kalangan masyarakat Indonesia sayangnya belum dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menaikkan kesadaran masyarakat akan isu lingkungan. Makna ibadah yang diamini sebagian masyarakat saat ini masih berkisar soal pemahaman teologis semata, ujar para ahli.
Sepanjang pengalamannya mendengarkan khotbah di sejumlah acara keagamaan, Rifqi Dewanto mengaku bahwa ia jarang mendengar pemuka agama mengaitkan agama dengan isu lingkungan dalam khotbah yang mereka sampaikan. Jikapun ada, jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Dari sejumlah khotbah tersebut, banyak di antaranya yang tidak menjadikan kaitan antara agama dan lingkungan sebagai tema utama. Topik tersebut hadir sebagai pelengkap semata.
“Khotbah seperti itu [yang mengangkat tema lingkungan] biasanya berkaitan dengan [tema] apa yang seharusnya manusia lakukan di muka bumi ini,” ujar peneliti berusia 23 tahun kepada VOA pada Jumat (4/8).
Pria asal Bekasi, Jawa Barat itu, mengaku bahwa tema-tema yang berkaitan dengan lingkungan terkadang ia jumpai dalam kajian keagamaan yang pesertanya didominasi oleh anak muda.
Survei lembaga kajian yang berbasis di Washington, The Pew Research Center, pada tahun 2020 menyebutkan bahwa agama memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, menjadikannya sebagai salah satu negara dengan masyarakat paling religius di dunia.
Dalam survei bertajuk “The Global God Divide” itu, 98 persen responden asal Indonesia menganggap kehadiran agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Sebanyak 96 dan 98 persen responden masing-masing mengaku bahwa Tuhan dan ibadah menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka.
Di tengah menonjolnya peran agama dan label “religius” yang melekat pada Indonesia, agama sayangnya belum dapat menjadi medium yang efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu lingkungan di tengah tantangan krisis iklim yang menerjang.
Ibadah dan Lingkungan
Fachruddin Mangunjaya, peneliti kajian Islam yang sudah membidani bidang agama dan lingkungan sejak awal 2000-an, mengatakan banyak kandungan dalam ajaran agama yang berkaitan dengan lingkungan yang belum digali dan disosialisasikan kepada umat.
Dalam konteks Islam, menurut Fachruddin, yang juga merupakan dosen Universitas Nasional di bidang biologi konservasi, umat Muslim di Indonesia masih tertinggal dalam menterjemahkan fikih atau hukum Islam “ke dalam fikih sosial yang progresif yang sesuai dengan tantangan zaman.”
“Seolah olah ibadah itu hanya di masjid, mushola, haji, zakat, dan lain lain. Kehidupan beragama itu adalah kehidupan sosial dan kehidupan sosial itu terkait dengan lingkungan,” ungkapnya kepada VOA awal bulan ini.
“Jadi semua ajaran agama yang mengatakan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta) di mana kalau di masjid saja tidak dibicarakan mengenai lingkungan hidup,” tambahnya.
Celah yang muncul dalam relasi antara agama dan lingkungan di kalangan masyarakat Indonesia lalu dimanfaatkan oleh MOSAIC, sebuah forum bersama yang terdiri dari para pemimpin, organisasi dan gerakan Muslim lintas entitas, untuk dapat menjawab tantangan dalam perubahan iklim melalui pendekatan agama.
Pembentukan MOSAIC, yang merupakan akronim dari Muslims for Shared Actions on Climate Impact, juga didasari oleh tingginya kepercayaan masyarakat terhadap pemuka agama seperti yang tercermin dalam jajak pendapat awal yang mereka lakukan di awal pembentukan.
“Salah satu yang menarik adalah ketika kita tanya tentang trusted messenger atau pembawa pesan [yang] efektif untuk isu perubahan iklim, pemuka agama itu menempati nomor dua, bahkan di atas Presiden Jokowi,” kata Aldy Permana, anggota MOSAIC, kepada VOA.
Sumber : www.voaindonesia.com